
Bapak Uskup Robertus Rubiyatmoko, para Imam, Biarawan- biarawati, para Ibu dan Bapak, Kaum Muda, Remaja dan Anak-anak yang terkasih, Umat Keuskupan Agung Semarang yang berbahagia,
Bersama-sama dengan Bapak Kardinal Yulius, para Bapak Uskup, dan para tamu yang datang untuk ikut merayakan ulang tahun yang ke-85 Keuskupan Agung Semarang, saya dengan penuh kegembiraan mengucapkan selamat.
Kita semua ikut bersyukur atas berbagai macam anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada Umat Keuskupan Agung Semarang. Bukan hanya bagi Keuskupan Agung Semarang tetapi melalui Keuskupan Agung Semarang untuk Gereja Indonesia.
Selama 85 tahun, sejak Vikariat Apostolik Semarang didirikan bukan hanya sepanjang 85 tahun itu, tetapi sepanjang sejarah di wilayah yang sekarang ada di dalam naungan pelayanan Keuskupan Agung Semarang, banyak anugerah, banyak berkah yang dibagikan bagi Gereja Katolik di Indonesia.
Sudah beberapa kali dikatakan kalau kita menengok sejarah, peran Keuskupan Agung Semarang bagi Gereja Katolik di Indonesia sangatlah besar. Ambil beberapa contoh. Kita sekarang kenal yang namanya Aksi Puasa Pembangunan selama masa Prapaskah. Dari mana gerakan itu dimulai? Jawabannya jelas dari sejarah, dari Keuskupan Agung Semarang pada tahun 1968.
Di beberapa wilayah berbagai wilayah Keuskupan di Indonesia, dilaksanakan pelayanan berbasis lingkungan. Dari mana pelayanan berbasis lingkungan itu dimulai? Jawabannya dari Bintaran, Yogyakarta wilayah Keuskupan Agung Semarang sejak tahun 1934.
Sekarang kita mengenal Wanita Katolik Republik Indonesia, dikenal dari pakaiannya yang biru-biru itu. Pertanyaannya, dari mana WKRI itu mulai? (suara bersorak)Mereka sudah memberi jawabannya sendiri. Mungkin ada yang tidak tahu juga mereka. Jawabannya sama, dari Jogja, wilayah Keuskupan Agung Semarang.
Dari mana Madah Bakti tadi berasal, yang tadi nyanyiannya dilagukan? Dari mana gerakan liturgi, inkulturasi liturgi musik liturgi? Jawabannya dari Keuskupan Agung Semarang, persisnya di Pusat Musik Liturgi di Jogja.
Itu yang besar-besar. Yang kecil, dari mana komuni bathuk itu mulai? Sejauh saya ingat dari Paroki Wedi, sama wilayah Keuskupan Agung Semarang.
Belum lagi yang disebut-sebut awam misionaris yang tersebar di seluruh Indonesia. Saya pribadi tidak jarang berjumpa dengan tokoh-tokoh di suatu wilayah di keuskupan di luar Jawa. Seringkali saya bertanya kepada yang saya jumpai, “Bapak dari mana?” Dijawab, “Dari Jogja.” Karena orang Jogja, saya ajak bicara bahasa Jawa. “Nyaja pundi, Pak?”
“Kilen Pragi, Romo.”
“Kilen Pragi pundi, Pak?”
“Sami Galuh,” katanya.
Belum lagi yang mengaku dari Klaten. “Klaten pundi?” Jawabannya, “Wedi.”
“Wedi pundi, Pak.”
Dijawab, “Dalem.”
Masih saya kejar lagi, “Dalem pundi, Pak?”
“Serut,” katanya. Itu daerah perbatasan antara Sleman dan Wonosari, jauh sekali.
Untuk semua itu, untuk semua peran Keuskupan Agung Semarang bagi Gereja Katolik di Indonesia diucapkan terima kasih. (tepuk tangan panjang). Apakah ini berarti saya sudah cukup? (umat tertawa)
Saudari-saudaraku yang terkasih,
Tema syukuran 85 tahun Keuskupan Agung Semarang ini kita semua tahu berjudul “Bersama Berziarah, Berbagi Berkah. Saya membaca di balik semboyan ini ungkapan semangat Keuskupan Agung Semarang untuk terus merawat kepeloporan dan mengembangkan peran Keuskupan Agung Semarang dalam lingkup yang lebih luas. Bukan hanya di Keuskupan Agung Semarang, tetapi untuk Gereja Katolik di Indonesia dan untuk tanah air.
Ketika saya membaca semboyan ini, saya bertanya dalam hati, mengapa semboyan ini mulai dengan kata “bersama”, “Bersama Berziarah, Berbagi Berkah”. Apakah sekadar supaya akhirannya “ah”? “Bersama Berziarah, Berbagi berkah”. “Ah” dan “ah”. Bunyinya enak. Kalau hanya itu maksudnya kan jauh lebih mudah menggunakan kata “berziarah bersama ah, berbagi berkah”. Lebih modern daripada yang lain pakai “ah”.
Saudari-saudaraku yang terkasih, ketika renungan saya sampai di sini, saya ingat satu kisah yang agak konyol, tetapi bagi saya mencerahkan. Ceriteranya begini.
Ada seorang kota pergi ke desa. Di desa itu, ia melihat seorang gembala yang sedang menggembalakan kambing. Ia sangat tertarik pada kambing-kambing itu karena sungguh sangat menarik. Maka, dia mendekati gembala itu lalu berkata begini. “Kawan, apakah saya boleh mengajukan satu, dua pertanyaan mengenai kambing-kambing Anda ini?”
“Oh, silakan,” kata gembala itu.
Orang kota itu melanjutkan, “Kawan, kambing Anda ini kelihatan sangat-sangat sehat. Setiap berapa hari Anda mengeluarkan kambing Anda dari kandang dan membawanya ke padang rumput?”
Yang punya kambing bertanya, “Yang mana, kambingnya dua warna, hitam dan putih?”
“Yang hitam?”
“Oh, yang hitam itu saya bawa ke padang rumput setiap 7 hari sekali.”
“Yang putih?”
“Yang putih saya bawa ke padang rumput seminggu sekali.”
Orang kota itu agak bingung. Dia melanjutkan pertanyaan, “Kawan, kambing Anda ini bulunya sangat lebat. Setiap berapa waktu Anda memotong bulu kambing-kambing Anda?”
Yang punya bertanya balik, “Yang mana, yang hitam atau yang putih?”
“Yang hitam?”
“Oh yang hitam ini saya potong bulunya setiap 6 bulan sekali.”
“Yang putih?”
“Yang putih saya potong bulunya setengah tahun sekali.”
Semakin penasaran,”Kambing Anda ini gemuk-gemuk. Berapa banyak rumput Anda berikan kepada kambing-kambing Anda ini?”
Tanya lagi, “Yang mana, yang hitam atau yang putih?”
Dijawab, “Yang hitam.”
“Oh, yang hitam saya beri satu keranjang rumput setiap hari.”
“Yang putih?”
“Yang putih saya beri rumput setengah keranjang dua kali.”
Orang kota itu mulai jengkel. Dia bertanya, “Kawan kenapa Anda selalu menjawab dengan cara seperti itu. Sebetulnya kambing ini milik siapa?”
Tanya lagi,”Yang mana, yang hitam atau yang putih?
“Yang hitam?”
“Yang hitam itu kepunyaan saya.”
“Yang putih?”
“Yang putih milik saya.”
Kalau orang Jogja pasti bilang “wo kenthir!” (Umat tertawa)
Yang menarik dari kisah ini adalah, tulisan di bawah cerita. Itu yang tadi saya katakan mencerahkan. Tulisannya berbunyi begini, Allah itu mempersatukan, manusia memisah-misahkan.
Saya kira pencerahannya sangat jelas. Dan dongeng ini menjawab pertanyaan saya tadi, untuk saya sekurang-kurangnya, kenapa mulai dengan bersama berziarah? Itu artinya bersamanya digarisbawahi. Seandainya tidak digarisbawahi, rasa-rasanya cukup kalau menjadi kata yang kedua.
Untuk dapat bersama, untuk dapat membangun kebersamaan, murid-murid Yesus mesti yakin bahwa dirinya adalah citra Allah. Sebagai citra Allah kita dengan sendirinya tidak akan semakin memisah-misahkan, tetapi akan terterong terus untuk membersamakan. Inilah yang dengan kata lain dinyatakan sebagai ajaran resmi oleh Gereja, yang dirumuskan begini. Siapapun kita dalam status hidup, dalam fungsi apapun mempunyai panggilan yang sama, yaitu bertumbuh menuju kesempurnaan kasih, bertumbuh menuju kesempurnaan hidup Kristiani, bertumbuh menuju kesempurnaan kesucian, bertumbuh menjadi semakin serupa dengan Kristus yang selalu mempersatukan dan tidak memisah-misahkan.
Pertanyaan berikutnya adalah, jalannya mana untuk bertumbuh menuju kesempurnaan kasih, untuk bertumbuh menjadi, menjadikan diri kita semakin serupa sebagai citra Allah?
Jawabannya jelas pula dari hari raya yang kita rayakan pada hari ini, yaitu hari raya Santo Petrus dan Santo Paulus. Jalan itu namanya kemartiran. Itulah yang terjadi dengan pribadi Petrus, sebagaimana tadi kita dengarkan di dalam Kisah para Rasul. Kemartiran itu pulalah yang ditempuh oleh Rasul Paulus sebagaimana ia tulis sendiri di dalam suratnya kepada Timoteus, yang tadi juga kita dengarkan.
Kemartiran Petrus dan kemartiran Paulus membuahkan kebersamaan. Kita semua tahu, Petrus dan Paulus itu sering bertengkar, mempunyai pendapat yang sangat berbeda. Tetapi karena kedua pribadi itu hidup di dalam semangat kemartiran, yang membedakan, yang memisahkan, tidak menjadi pemisah. Semangat kemartiran itu membuat mereka berdua membuahkan kebersamaan. Ini sangat jelas ketika terjadi krisis besar di dalam Gereja yang diselesaikan di dalam Kisah Para Rasul bab 15 yaitu Konsili Yerusalem.
Yerusalem pada waktu itu dipimpin oleh Yakobus, saudara Tuhan. Yakobus saudara Tuhan pasti mempunyai wibawa yang sangat besar, tetapi pendapatnya tertutup.
Waktu itu, Petrus datang, Paulus datang bersama Barnabas. Dan Petrus mulai berbicara mengenai pengalaman dirinya. Paulus mulai berbicara mengenai pengalaman dirinya. Sesudah Petrus dan Paulus berbicara, Yakobus yang semula sangat keras pendapatnya, berlawanan dengan pendapat Paulus membuat Gereja diambang kehancuran, ternyata terpengaruh. Kebersamaan Petrus dan kebersamaan Paulus, bersama dengan Paulus mempengaruhi watak Yakobus. Dan karena pengaruh itu, ketiga-tiganya mengambil keputusan yang menentukan sejarah Gereja sampai hari ini, yaitu Gereja yang terbuka, bukan yang tertutup seperti yang dipimpin oleh Yakobus.
Dan karena keputusan itulah, warta Injil disampaikan ke seluruh dunia. Dan kalau hari ini, Keuskupan Agung Semarang merayakan 85 tahun, asal usulnya adalah Konsili Yerusalem yang diadakan sekitar tahun 57 Masehi.
Kita bersyukur karena watak kemartiran Petrus dan Paulus membuahkan kebersamaan di dalam Gereja sehingga warta Injil dapat disebarkan, dapat disampaikan kepada seluruh bangsa.
Marilah kita saling mendoakan, agar kita terus berusaha menggunakan kesempatan yang tersedia dan yang disediakan oleh Tuhan untuk terus merawat dan mengembangkan kebersamaan! Bukan sekadar karena kebersamaan itu penting, tetapi karena kebersamaan itu memuliakan kita semua sebagai murid-murid Kristus. Membangun kebersamaan berarti melangkah menuju kesempurnaan kasih.
Dengan keyakinan itu, marilah kita lanjutkan ibadah kita.