Mgr Valentinus Saeng CP: Hati Yesus Yang Mahakudus Adalah Hati Yang Peduli

Dalam misa pembukaan Rapat Pleno Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan (SGPP) Konferensi WaIigereja Indonesia (KWI) di Kapel Fransiskus Gedung KWI, 27 Juni 2025, Ketua SGPP KWI, Mgr Valentinus Saeng CP menyoroti tentang maraknya kekerasan dalam berbagai bentuk dan medianya serta ajakan untuk menanggapinya dengan mewartakan kabar gembira.

Berikut adalah homili lengkapnya.

Saudara-saudariku terkasih,

Bacaan hari ini mengajak kita untuk memahami bahwa Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan yang peduli. Seperti dalam bacaan pertama, Dia tidak akan membiarkan umat-Nya menderita, tersingkir, tersesat. Dia akan menguatkan yang lemah, memanggil pulang yang tersesat, dan Dia akan melindungi mereka yang gemuk dan gagah perkasa. Jadi Tuhan kita adalah Tuhan yang peduli, Tuhan yang penuh cinta kasih, yang hari ini kita rayakan dengan hari raya Hati Kudus Yesus.

Hati adalah gambar, adalah simbol dari jati diri Tuhan dan jati diri kita sebagai umat-Nya. Sehingga ketika orang berbicara tentang hati, hanya dua pilihan, hati yang baik atau hati yang buruk. Lalu Tuhan yang peduli ini, Dia selalu membuka ruang bagi bangsa Israel untuk bertobat. “Bertobatlah!” seperti diwartakan oleh Yohanes Pembaptis, “karena kerajaan surga sudah dekat”.

Namun, kita di sisi lain berhadapan dengan ketegaran hati. Ketegaran hati. Kekerasan batu, kekerasan logam itu dapat dilembutkan. Tapi kekerasan hati ketika hati itu sudah mengeras, ketika kebencian itu sudah memuncak, ketika kecurigaan itu sedemikian kuat, meskipun Tuhan datang, seperti Dia katakan kepada perumpamaan tentang orang kaya dan Lazarus, meskipun ada orang mati loh yang bangkit, Dia tetap akan tidak percaya. Karena masalah hati itu masalah pilihan, masalah keputusan, terkait dengan satu keyakinan, tentang satu kebenaran. Dan kita sedang berhadapan dengan kekerasan hati. Kekerasan hati yang sedemikian mutlak dan tidak dapat diubah.

Sejarah penyaliban Yesus adalah sejarah kekerasan hati para pemimpin agama Yahudi yang menolak kehadiran-Nya sebagai seorang Mesias. Kamu boleh tidak percaya dengan Aku, kata Yesus, tetapi lihatlah perbuatan-perbuatan-Ku. Orang buta melihat. Orang tuli mendengar. Orang bisu berbicara. Orang mati dibangkitkan. Dapatkah seorang manusia biasa melakukan pekerjaan-pekerjaan Tuhan?

Tetapi kita berhadapan dengan hati yang sudah membeku. Mereka yang seharusnya menjadi orang pertama yang mengenal kehadiran Yesus Kristus sebagai Sang Mesias, merekalah orang pertama yang menunjukkan tangan, salibkanlah Dia! Nah, apakah peristiwa kekerasan hati ini berhenti dengan penyaliban Yesus? Tidak. Kita sampai hari ini masih berhadapan dengan kekerasan-kekerasan hati yang demikian. Hati yang membeku.

Dalam dunia, jatah diskursusnya, omongannya, itu semakin berkurang karena orang semakin sibuk dengan rosario gaya baru, bukan? Santa Nokia, Santo Vivo, Santo Samsung, Santo iPhone membuat kita mengambil jarak dari orang-orang di sekitar kita. Sehingga pertengkaran langsung, percekcokan langsung itu jarang terjadi dalam masyarakat. Kalau seperti dulu, “Kubunuh kau!”, uh teriak-teriak, dari ujung teriak. Sekarang tidak. Tetapi begitu Anda memasuki dunia media sosial, dunia online, kita berhadapan dengan caci maki, dengan orang-orang, dengan tingkat kebencian yang luar biasa.

Karena itu apa yang diramalkan sebelumnya bahwa akan terjadi benturan peradaban, itu sedang terjadi, Bapak-Ibu. Hanya kita harus memiliki satu pemahaman tentang apa itu realitas. Sebelum dunia internet, kita hanya mengenal dua realitas, yaitu dunia nyata dan dunia imajiner. Dan dunia imajiner itu adalah dunia fantasi, dunia imajinasi, ya hanya khayalan belaka. Tetapi dengan internet kita berhadapan ada tambahan satu dunia yang kita sebut dunia virtual. Bukan dunia imaginer, karena di dalamnya meskipun ada jarak yang dimediasi oleh layar, tetapi kita berkontak langsung, bisa omong, bisa lihat wajah, bisa lihat apa yang terjadi di sana.

Nah, maka sekarang yang terjadi, peperangan yang sekarang terjadi, kekerasan hati, kebencian yang terjadi di ruang virtual, realitas yang diciptakan oleh internet.  Pertanyaan kita adalah ini, apakah kita orang Katolik menyadari bahwa sudah terbentuk realitas baru yang bukan realitas konkret, bukan juga realitas fantasi-imajiner, tetapi realitas virtual yang nyata di mana yang kita sebut dengan pergaulan, percakapan, bahasa mereka yang keren-keren tuh interaksi itu terjadi secara nyata? Orang mencaci maki begitu ditangkap polisi baru kita lihatnya, kalau di media sosial seperti ahli orang besar tegap binaraga, begitu tangkap polisi binarangka. Hah, kurus kerempeng toh? Tapi di media sosial, dia seperti Superman. Ini terjadi. Kita menyadari ndak, bahwa tercipta internet menciptakan realitas baru, realitas virtual. Lalu yang kedua, apakah kita mengisi ruang itu dengan kabar baik atau tidak? Ini pertanyaan penting untuk kita SGPP. Karena dengan dunia virtual muncullah istilah kekerasan verbal,  kekerasan virtual. Nah, kalau kita membiarkan ruang virtual ini yang sekarang dipenuhi, dibanjiri, oleh bermiliar-miliar orang, dipenuhi dengan percakapan, pergaulan, sumpah serapah, caci maki, dengki, maka kita akan menghidupi satu dunia yang sama sekali tidak ramah dengan siapa saja. Maka tantangan bagi kita orang Katolik adalah bagaimana kita mengimbangi percakapan, pergaulan, diskursus yang ada dengan kabar baik, dengan berita sukacita.

Dalam lingkup kita SGPP, bagaimana kita menyampaikan pesan-pesan kesetaraan gender, pesan tentang penghargaan terhadap hak asasi manusia, penghargaan terhadap orang yang berbeda dengan kita, ruang untuk rasa keadilan itu, agar tidak banyak orang yang tersingkir, tidak banyak orang yang terpinggir. Bukan hanya terpinggir dalam kehidupan nyata, tetapi terpinggir juga dalam ruang virtual seperti begini. Maka ini menjadi tantangan kita dan sekaligus kita mengkomunikasikan, kita mewartakan juga pembaharuan-pembaharuan yang kita lakukan.

Maka, kita harus memberikan sumbangsih, memberikan kontribusi yang nyata bagi perbaikan masyarakat. Kita tidak boleh diam. Yesus memanggil kita sekalian, “Pergilah ke seluruh dunia dan wartakanlah kabar gembira!”

Maka, saya berharap dalam rapat pleno ini kita sungguh berbagi kabar baik, berbagi cerita baik, berbagi kabar gembira tanpa mengabaikan, tanpa menyangkal ada persoalan-persoalan yang ada.

Tetapi persoalan yang ada tidak boleh menjadikan kita pesimis. Karena Hati Yesus Yang Mahakudus adalah hati yang peduli. Dan hati yang peduli adalah hati yang optimis. Bahwa perubahan dapat kita lakukan dari ruang yang paling kecil sekalipun. Tuhan memberkati.

 

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *