
Konklaf yang berlangsung tanggal 7-8 Mei 2025 di Kapel Sistina telah memilih Kardinal Robert Francis Prevost sebagai Paus yang kemudian memilih nama Paus Leo XIV. Ritus pemilihan pengganti Santo Petrus, dan melanjutkan penggembalaan Paus Fransiskus yang wafat pada 21 April 2025 telah menyita perhatian publik dunia. Bapak Ignatius Kardinal Suharyo yang mengikuti konklaf tersebut berbagi kisah seputar konklaf kepada awak media, 18 Mei 2025, setelah misa syukur atas Paus Leo XIV di Katedral Jakarta.
Menurutnya, sejak Paus Fransiskus meninggal, ada masa berkabung selama 9 hari. Dalam rentang waktu itu, para kardinal baik yang pemilih (elektor) maupun yang tidak, sudah berkumpul di Vatikan. Setiap hari mereka mengadakan pertemuan. “Masing-masing kardinal mendaftarkan diri kalau mau berbicara mengenai apapun. Jadi bisa dibayangkan kalau 200 sekian orang, orang yang hebat-hebat itu, berbicara pasti pembicaraannya macam-macam,” kata Kardinal Suharyo.
Kardinal Suharyo mengatakan kalau dirinya datang pada hari terakhir sehingga tidak banyak hal yang bisa ia dengarkan dari pembicaraan para kardinal. Meskipun demikian, Kardinal Suharyo bisa membayangkan isi pembicaraan para kardinal tersebut dalam beberapa klasifikasi.
Yang pertama adalah Gereja macam apa yang ingin dibangun ke depan. “Jadi Gereja itu kan bisa macam-macam ya. Ada ajaran, teologi dogmatis, Gereja itu apa. Ada Gereja seperti yang dikatakan oleh Paus Fransiskus yang belum pernah ada di dalam rumusan teologi, misalnya, “saya ingin Gereja seperti rumah sakit di medan perang”. Rumusan seperti itu. Jadi, Gereja yang terlibat di dalam keadaan apapun terutama yang jelek-jelek. Jadi, gambaran tentang Gereja seperti apa,” katanya.
Yang kedua adalah dunia macam apa yang akan berkembang ke depan. Menurutnya, kita tidak bisa meramalkan Gereja macam apa yang akan berkembang di masa depan baik bulan depan, tahun depan, 5 tahun yang akan datang. “Tetapi ini dengan bahasa kurang lebih dunia pertama ya, Eropa, Amerika, mereka berbicara mengenai sekularisme. Proses sekularisasi yang akhirnya memuncak pada sekularisme. Intinya Allah tidak ada tempatnya lagi di dalam dunia. Kalau kita kan masih banyak tempatnya ya. Tapi di sana tidak. Saya memberikan contoh misalnya, anak-anak Katolik yang mau menerima sakramen krisma itu, satu sakramen inisiasi, diminta untuk membuat tanda salib, itu tidak bisa”. Itu terjadi karena anak-anak di sekolah tidak mendapat pelajaran agama. “Jadi sungguh-sungguh dipisahkan antara Gereja dan negara sehingga sekolah-sekolah, kalau misalnya, mengajarkan agama nanti tiba-tiba pasti dihukum. Ada aturannya,” kata Kardinal Suharyo.
Yang ketiga, Allah tidak lagi mempunyai tempat dalam relativisme. “Yang dimaksudkan dengan relativisme adalah ketika orang tidak percaya lagi pada norma-norma moral yang pokok, yang dasar. Jadi, tidak tahu lagi baik dan buruk, itu relatif apa tidak. Apakah ada kebaikan yang tidak berubah? Yang dulu baik, sekarang tidak baik lagi. Yang dulu salah, sekarang jadi betul. Itu relativisme. Jadi, nilai yang tidak ditentukan oleh moral keimanan, tetapi ditentukan oleh zaman,” terang Kardinal Suharyo. Tentang relativisme, Kardinal Suharyo memberikan contoh tentang pernikahan sejenis. “Pernikahan itu dulu kan laki-laki dengan perempuan ya. Sekarang banyak negara di Eropa yang sudah meratifikasi, membolehkan hidup bersama sesama jenis. Ini kan tidak terpikirkan 50 tahun yang lalu. Sekarang sangat biasa. Seolah-olah nilai-nilai yang dulu dianggap nilai dasar itu sekarang tidak ada lagi. Kira-kira seperti itu. Nah, kalau zamannya memang seperti itu, lalu pemimpin Gereja macam apa yang dibutuhkan supaya dapat memimpin Gereja ini dengan baik, Gerejanya tidak terpengaruh oleh arus-arus yang tidak teratur itu, tetapi sungguh memberi arah kepada sejarah. Jadi memberi arah baru,” jelas Kardinal Suharyo.
Tentang arah baru justru ditonjolkan Paus Leo XIV beberapa saat setelah terpilih menjadi paus berupa rumusan damai. “Itulah yang dikatakan oleh Paus Leo pada waktu tampil di balkon itu untuk pertama kali. Beliau bicara tentang damai. Itu arah, tetapi arah menuju perdamaian itu kan tidak semudah seperti dikatakan. Perang di mana-mana. Perang diciptakan karena orang mau menjual senjata dan begitu berputar sehingga tidak mungkin lagi orang lepas dari perang itu. Jadi, antara nilai dan realitas itu semakin jauh,” kata Kardinal.
Menurut Kardinal Suharyo, dalam pembicaraan prakonklaf itu, beberapa kali para kardinal menyebut-nyebut Paus Fransiskus. “Meskipun beliau sudah meninggal tetapi para bapak kardinal itu seolah-olah mau mengatakan “Kami mengharapkan seorang pemimpin Gereja yang baru seturut jalur Paus Fransiskus!” kata Kardinal Suharyo. Menurut Kardinal Suharyo, itu adalah harapan bahwa para kardinal berharap paus berikutnya bukanlah akademisi, diplomat, maupun teolog. “Kami mengharapkan seorang pastor. Artinya gembala yang terlibat di dalam kehidupan dunia,” katanya. Hal itu, menurutnya, dikatakan berulang-ulang sehingga para kardinal seolah-olah sudah mendapatkan arah sebelum konklaf. “Itu sudah seolah-olah mendapatkan arah nanti yang mesti dipilih adalah tokoh-tokoh yang sungguh pastor,” kata Kardinal Suharyo.
Kardinal Suharyo mengakui, meski pada saat prakonklaf para kardinal melakukan pembicaraan bermacam-macam, tiba-tiba ketika memasuki konklaf suasananya berubah. “Meskipun pembicaraannya pada masa prakonklaf itu bermacam-macam sekali, ketika masuk konklaf itu seolah-olah semuanya berubah nadanya. Memang kelihatannya “seram” ya, konklaf, karena semuanya digeledah. Koper saya yang karena tidak pernah dibuka oleh polisi pun dibuka oleh polisi. Dua-duanya. Yang kecil dan yang besar, diteliti betul-betul ada apa, supaya kerahasiaan konklaf itu dijamin. Itu maksudnya. Kamar itu juga sudah disterilkan. Baru ketika saya masuk ke kamar itu segelnya dibuka. Jendela-jendela semua disegel, supaya tidak ada komunikasi dengan orang luar sehingga tidak bisa ini nanti pilih ini ya, nanti pilih ini, ndak ada sama sekali. Ndak mungkin. Ndak mungkin. Nah, ketika kami masuk konklaf seolah-olah semuanya, perbedaan-perbedaan itu ndak ada, hilang. Kami masuk dengan tenang, suasananya doa, doa hening, terus diam sambil menyanyi berdoa menuju Kapel Sistina. Dan di situ mulailah, ada macam-macam penjelasan mengenai tata cara. Semuanya sudah ada bukunya, detil, sangat detil. Bahkan menghitung suara pun ada caranya. Sebelum dihitung di-opyok-opyok itu ya, dikocok supaya tidak kelihatan ini siapa yang memasukkan terakhir,” jelasnya.
Proses Konklaf
Proses konklaf, menurut Kardinal Suharyo, berjalan baik meski ada kejadian yang membuat proses konklaf memakan waktu lebih panjang. “Semestinya hari pertama, hari Rabu malam itu jam tujuh sudah selesai. Tetapi karena khotbahnya sangat panjang, maka jam 9 baru selesai. Baru keluar asap hitam yang pertama itu. Itu karena khotbahnya terlalu panjang,” katanya.
Saat itu adalah putaran pertama pemilihan paus. “Itu putaran pertama, masih menjajaki seperti kalau pemilihan ketua KWI itu ya masih banyak sekali nama-nama yang muncul meskipun tidak semua,” katanya.
Menjadi lebih jelas pada putaran kedua. “Hari Kamis pagi itu sudah, sudah menjadi lebih jelas. Yang lain-lain itu sudah tinggal satu-dua, satu-dua. Lalu yang calon-calon yang lain itu yang kira-kira nanti akan dipilih itu sudah naik, naik, naik, naik, naik begitu. Tapi belum jadi karena harus 2/3,” terangnya.
Pada Kamis sore terjadi pemilihan putaran ketiga. Mestinya pemilihan bisa lebih cepat. Karena ada sedikit kesalahan, maka proses pemilihan berlangsung lebih lama. Perkiraaan pukul 5 selesai, tapi baru pukul 7 selesai. Ada kelebihan kartu suara. “Karena kardinal-kardinal itu kan banyak yang senior ya, sepuh, sehingga diberi kartu dua dimasukkan semua. Padahal kan satu-satu. Dan aturannya itu dihitung semua. Kardinal elektornya 133, tapi yang masuk kartunya kok 134. Dari mana ini? Nah, aturannya kalau seperti itu langsung dibatalkan. Diulang. Diulang. Nah, ketika putaran ketiga hari Kamis sore, cepat sekali, akhirnya terpilihlah Kardinal Prevost itu,” kata Kardinal Suharyo.
Sesudah konklaf, hari berikutnya, lanjut Kardinal Suharyo, Paus terpilih mengundang para kardinal untuk berbicara bersama-sama. Ia mau mendengarkan masukan lagi. “Padahal sudah sekian banyak yang didengarkan, masih kurang mendengarkan. Tapi itu simbolik. Yang mau ditunjukkan oleh Paus adalah kita mau berjalan bersama-sama. Jadi, silakan menyampaikan pikiran-pikiran dan ternyata banyak sekali yang ingin berbicara lagi. Itu rupa-rupanya harapannya besar sekali, mau apa, mau apa, mau apa. Tetapi karena waktunya terbatas, daftarnya itu masih 38 yang mau bicara di-stop, tidak bicara. Intinya adalah ini, Paus Leo ini mau melanjutkan pendahulunya Paus Fransiskus untuk mencari jalan-jalan baru mewujudkan, mengimplementasikan hasil Konsili Vatikan II. Itu satu. Lalu yang kedua, sadar bahwa itu semua tidak mudah, dan itu berkaitan dengan masa Paskah. Paskah itu kan kisah mengenai pembebasan umat Allah Perjanjian Lama dari perbudakan Mesir menuju Tanah Terjanji. Itu kan perjalanan yang sangat, sangat, sangat panjang. Sehingga kalaupun cita-citanya damai, damai, damai, Paus Leo tahu bahwa itu tidak mudah. Yang diwartakan damai, tapi yang terjadi adalah perang, konflik. Dan itu sangat memprihatinkan beliau, sangat memprihatinkan Gereja. Sehingga sebelum konklaf mulai ada suatu komunike, pernyataan dari pertemuan para kardinal itu mengajak, menghimbau untuk mengakhiri perang di Gaza, di Ukraina, di Sudan dan di tempat-tempat lain yang banyak sekali itu,” kata Kardinal Suharyo
Terkait mengakhiri perang, Kardinal Suharyo melihat itu hal yang tidak mudah. “Karena apa? Nah ini, sekarang refleksi saya ya. Dulu ada pepatah bahasa Latin Si vis pacem, para bellum. Artinya, kalau Anda menghendaki damai, siapkanlah perang. Nah, kalau begitu kapan selesainya perang Itu? Si vis pacem, para bellum, artinya, maksudnya, kalau tidak mau ada perang, harus ada yang adidaya yang tidak bisa dilawan oleh yang lain-lain,” katanya.
Sedangkan adagium di Gereja Katolik, menurutnya, adalah Si vis pacem para yusticiam. Kalau Anda menghendaki damai, tegakkanlah keadilan. Tapi kan ini idealisme yang sangat tinggi ya? Apakah orang mau adil, nanti tidak ada negara-negara super kaya raya?” katanya.
Arah Kepemimpinan Paus Leo XIV
Para kardinal melalui konklaf telah memilih pemimpin baru Gereja. “Gereja Katolik itu kan satu ya. Ikut pemimpinnya yang paling tinggi di Vatikan sana,” katanya. Saat ini masih sepotong-sepotong menangkap arah penggembalaan Paus Leo XIV. Meski begitu, Kardinal Suharyo yakin, dalam waktu tidak terlalu lama, Paus Leo XIV akan mengeluarkan ensiklik. “Nanti, saya yakin dalam waktu yang tidak terlalu lama, beliau akan menulis yang biasanya disebut di dalam Gereja Katolik ensiklik. Nah di situlah nanti akan dapat kita pelajari kira-kira arah yang mau diambil oleh Paus Leo ini seperti apa,” kata Kardinal.
Meski begitu, menurutnya, arah yang dituju Paus Leo XIV sudah bisa ditebak dari nama yang dipilih, Leo XIV. “Sebetulnya ketika prakonklaf itu para kardinal usul nanti kalau terpilih pausnya, tolong mengambil nama Paus Fransiskus II, karena sangat terpesona dengan Paus Fransiskus, atau Paus Yohanes XXIV. Paus Yohanes XXIII itu orang kudus yang memulai Konsili Vatikan II. Jadi, harapannya kalau mengambil nama Yohanes XXIV, nanti pembaharuan-pembaharuan di dalam Gereja itu terus akan dicari jalannya. Ternyata Leo XIV. Leo XIII itu hidup pada akhir abad ke-19. Dan beliau adalah Paus yang pertama yang menulis ajaran sosial Gereja. Namanya Rerum Novarum, bahasa Latin, Hal-hal Baru, tahun 1891. Pada waktu itu ada revolusi industri di Eropa. Dan karena revolusi industri itu, cara berpikir menjadi berbeda. Buruh-buruh yang bekerja di pabrik-pabrik itu gak tahu lagi diperlakukan seperti apa, ada buruh anak-anak dan sebagainya, sehingga Gereja mengambil sikap tentang pekerjaan, tentang modal, tentang segala macam. Nah, sekarang Rerum Novarum-nya itu bukan revolusi industri lagi. Sekarang ini segala macam hal yang baru muncul, yang tidak terduga. Yang terakhir itu kan Artificial Intelligence ya. Ini nanti akan membawa kita ke mana? Orang membuat skripsi pakai AI itu ya langsung selesai, sehingga 1 tahun bisa membuat skripsi tiga atau empat. Tetapi lalu kemanusiaannya bagaimana itu? Nah, macam-macam hal seperti itu.
Martabat manusia yang semakin lama semakin jelas tidak dihormati. Teknologi dihormati. Uang dihormati. Tetapi martabat manusia tidak dihormati. Itu tantangan-tantangannya, selain relativisme, selain tidak adanya Allah, dan sebagainya. Ini tantangannya sangat besar. Tantangan umat manusia, itulah juga tantangan yang dihadapi oleh Gereja, khususnya pemimpin Gereja Katolik Paus Leo XIV ini,” ujar Kardinal Suharyo.
Dalam jumpa pers itu, Kardinal Suharyo mendapatkan pertanyaan seputar asap putih yang keluar melalui cerobong Kapel Sistina. Kardinal pun menghubungkan warna putih itu dengan warna liturgi Paskah yang juga putih. “Pakaiannya putih, kasulanya putih. Jadi putih adalah lambang dari berbagai macam hal, termasuk di dalamnya adalah kegembiraan,” katanya.
Kardinal pun menjelaskan, waktu pemilihan, para kardinal elektor diberi kartu kecil. “Jadi, kami menulis, diberi kartu kecil, kartu pemilih penulis dan harus membawanya begini (diangkat-ditunjukkan, Red), harus kelihatan bahwa itu dibawa sungguh-sungguh,” katanya. Lalu kartu itu dibawa ke tempat pengumpulan kartu. “Saya bersumpah di hadapan Tuhan bahwa yang saya pilih, saya tulis ini, hanya melulu yang dikehendaki Tuhan, bukan pilihan saya,” katanya. Sumpah itu diucapkan di depan lukisan Michelangelo di Kapel Sistina tentang pengadilan terakhir.
Setelah terkumpul, kartu-kartu itu dikocok. “Waktu itu saya yang dapat tugas untuk mengocak-kocak itu berat. Saya minta izin apakah boleh di-uwet-uwet (diacak, Red) di dalam. Boleh. Lalu sesudah di-uwet-uwet itu, dihitung satu persatu, dipindahkan ke tempat lain. Nah, kalau sudah cocok 133, lalu mulai dibuka satu persatu, yang menghitung itu enam orang. Jadi untuk tidak keliru. Jadi kalau satu, satu, satu semuanya cocok, lalu kartu yang pada orang yang keenam itu ditusuk dengan jarum. Nanti dikumpulkan dan dibakar. Nah, sesudah selesai semuanya, putaran pertama tidak capai, ya semuanya kertas-kertas apapun yang ada di situ, yang ada tulisannya dibakar di bagian belakang dari Kapel Sistina itu, diberi obat sehingga keluarlah asap hitam, dan begitu seterusnya,” katanya. Itu dilakukan sampai paus terpilih.
Konklaf adalah tradisi Gereja yang memang sudah sangat lama. “Nah, karena Gereja itu bukan institusi politik, tetapi institusi spiritual, maka yang spiritual itu harus dijaga benar-benar. Dan yang spiritual itu kalau mencari pemimpin, dia pemimpin yang paling baik di antara yang lain-lain, dan yang dikehendaki oleh Tuhan lewat konklaf. Maka, kalau mau memilih pemimpin yang baik ya tidak boleh ada macam-macam yang biasanya terjadi dalam pemilihan presiden dan sebagainya. Tidak ada di sana,” tuturnya.
Kardinal Suharyo pun mengatakan, alangkah hebatnya kalau pemilihan pemimpin-pemimpin itu dijalankan dengan spiritualitas yang seperti itu. Pasti berbeda nuansanya. “Memilih presiden pasti tidak sama dengan memilih Paus. Tetapi nuansanya itu loh, nuansa spiritual, tidak mencari kekuasaan, tidak apa ada gosip-gosip, tidak ada macam-macam seperti itu. Alangkah hebatnya kalau pemimpin-pemimpin kita itu dihasilkan dengan cara seperti itu. Entah caranya seperti apa, tetapi dipastikan, kekuasaan itu tidak dikejar dengan cara apapun. Diperjuangkan iya, harus, tetapi tidak dengan cara apapun,” katanya.
Usai pemilihan Paus, Kardinal Suharyo mengaku belum sempat berbicara dengan Paus Leo XIV terpilih. Namun, pembicaraan justru terjadi di meja makan sebelum konklaf. Kardinal Prevost bercerita mengenai Ordo OSA saat itu. “Beliau adalah dulu pernah memimpin ordo itu dan di Papua itu ada ordo itu,” katanya. Ketika Kardinal Suharyo menyampaikan informasi bahwa di Indonesia ada Ordo OSA, Kardinal Prevost lalu mengatakan kalau Mgr Bernard akan ditahbiskan di Timika. Dan Uskup Timika yang baru adalah sama-sama berasal dari ordo yang sama dengan Kardinal Prevost.
Ketika ditanya perasaan yang muncul saat Kardinal Suharyo mengikuti konklaf, ia menjawab kalau semua itu dilalui dengan tenang. “Saya tenang-tenang saja, ndak pikir macam-macam. Saya percaya bahwa yaitu persiapan-persiapan sudah cukup, aturan-aturan main ditulis dengan sangat rinci. Saya kira nanti prosesnya waktu itu ya, nanti waktu itu, seperti pemilihan yang biasa. Periode pertama, putaran pertama itu pasti namanya masih macam-macam. Dan betul macam-macam. Putaran kedua, sudah mulai mengerucut. Kira-kira ini yang akan didukung oleh yang lain. Tetapi belum sampai 2/3. Nah, waktu itu kan menjadi, menjadi apa ya, menjadi pertanyaan, kalau masing-masing kardinal itu mempertahankan calon yang dipilihnya, itu pasti akan lama konklafnya. Tetapi rupa-rupanya itulah yang tadi saya katakan dalam rangka pengalaman iman saya, ini karya Roh Kudus yang mempersatukan. Itu sungguh-sungguh sangat terasa. Nada berdoa, nada hening, dan sebagainya sangat terasa, sehingga konklafnya cepat,” katanya.