Dengan inspirasi dari teolog Leonardo Boff bahwa kehidupan sakramen mulai dari sakramen kehidupan, kita bisa memparafrasekannya juga bahwa kehidupan liturgi mulai dari liturgi kehidupan. Demikian Romo Mutiara Andalas mengawali paparannya “Liturgi Ekologi” dalam Seri Webinar Ekoteologi dalam rangka Hari Lingkungan Hidup, yang diselenggarakan oleh Oase Intim, 5 Juni 2024.
Ia pun mengajukan pertanyaan reflektif. “Yang menarik perhatian saya terutama dengan tema liturgi ekologi adalah apakah Gereja-Gereja, komunitas iman termasuk Gereja Katolik masih bisa lantang berteologi atau bahkan berliturgi ekologi, terutama dalam konteks mungkin yang paling kekinian adalah ketika ormas agama akan diberikan akses ya untuk investasi tambang di Indonesia? Karena bahkan sebelum itu pun sering kali komunitas iman tersandera untuk berbicara tentang tema teologi ekologi , dan sekarang tentu dalam ibadatnya yaitu liturgi ekologi. Dan sekarang ini yang menarik adalah bahwa komunitas Gereja-gereja termasuk Gereja Katolik dan komunitas iman yang lain berusaha untuk menyatakan keprihatinan mendalam atas isu-isu kerusakan ekologi pada bumi kita,” katanya.
Menurut saya, kerusakan ekologi mendorong dialog yang lebih baru pada masa depan untuk rumah kita bersama. Demikian pun terkait dengan liturgi. “Dan yang menarik, saya kira kalau kita merujuk pada Laudato Si’ adalah “tidak ada cabang ilmu dan tidak ada bentuk hikmat yang dapat diabaikan, bahkan juga hikmat agama dengan bahasanya sendiri” (LS 63). Maka, saya kira ini membuka kesempatan bagi komunitas iman, Gereja-gereja secara istimewa, teolog-teolog untuk memberikan sumbangan terkait dengan Liturgi Ekologi,” ungkapnya.
Untuk itu, menurutnya, kita juga membutuhkan habitus baru dan termasuk di dalamnya adalah liturgi ekologi kita. “Selama ini kita membayangkan ekaristi ekologi atau mungkin ibadat ekologi, itu masih membayangkan bumi sebagai tempat yang sangat indah ya, yang merepresentasikan paras Allah. Dan sekarang ini kita dihadapkan pada bumi yang rusak, bumi yang mengalami pemerkosaan dan bahkan penjagalan atas ciptaan-ciptaan yang ada di bumi. Dan saya kira itu memberikan, menurut saya, challenge ya bagi komunitas iman untuk berliturgi ekologi dalam situasi bumi yang demikian,” katanya.
Menurutnya, ketika kita mau bicara tentang liturgi ekologi, kita sebenarnya dari sisi komunitas iman mau melakukan lompatan ke misteri. “Tidak hanya misteri Allah melainkan juga misteri crucified creation yang barangkali dan dalam banyak liturgi kita itu seringkali masih menjadi background di dalam liturgi kita dan tidak menjadi tema sentral. Maka, komunitas iman diundang untuk mengembangkan jalur-jalur pedagogis atau mungkin dalam bahasa kami sekarang ini adalah jalur-jalur katekese iman ya di hadapan kerusakan ekologi,” kata Romo.
Maka, ia memberi usulan supaya kita memandang Gereja secara baru sebagai sanggar budaya kehidupan. “Karena menurut saya pandangan Gereja yang baru ini membuka ruang bagi kita untuk mengkreasi, mengembangkan liturgi ekologi, sehingga tidak hanya bahwa estetika itu masuk di dalam liturgi ekologi, melainkan estetika di dalam Gereja secara istimewa itu terlibat dalam tidak hanya pelestarian lingkungan melainkan juga mengembangkan lingkungan yang punya sustainabilty. Dan menurut saya ruangnya sangat terbuka terutama untuk komunitas iman terutama agar, mengutip Paus Fransiskus, komunitas iman itu memberikan motivasi spiritual agar kita semakin memiliki antusiasme bahkan keberanian,” katanya.
Keberanian itu, menurutnya, penting. “Maka, saya ingin menggarisbawahi yang disampaikan oleh Paus Fransiskus dalam Laudato Si, “Menghayati panggilan untuk melindungi karya Allah adalah bagian penting dari kehidupan yang saleh, dan bukan sesuatu yang opsional atau aspek sekunder dalam pengalaman kristiani. (LS 217).
Liturgi ekologi, menurut Romo Andalas, punya kans untuk itu karena sifatnya yang perayaan bersama, “sehingga melibatkan seluruh jemaat, tentu termasuk selebrannya. Dan saya kira dalam pengalaman Gereja-Gereja kita, kita memiliki modal yang sangat kuat untuk itu karena alam itu dalam perjalanan Gereja kita telah diangkat oleh Allah dan dijadikan perantara kehidupan adikodrati. Apakah itu air, apakah itu minyak. Maka saya kira, minyaknya jangan dibatasi pada minyak sakramen, tetapi juga minyak-minyak tambang itu saya kira perlu kita maknai secara baru dalam konteks liturgi ekologi. Tentu juga nanti api misalnya, jangan sampai ada pembakaran hutan, dan juga apalagi, pembakaran komunitas-komunitas yang terkoneksi dengan hutan. Maka, saya kira menurut saya ada undangan yang sangat kaya untuk mengkreasi liturgi ekologi,” ujarnya.
Romo Andalas juga mengusulkan, berangkat dari Laudato Si’, kita menyadari kembali bahwa ekaristi atau perayaan sakramen atau liturgi lain yang kita selenggarakan itu kita rayakan di ‘altar dunia’. “Maka ketika altar dunia itu mengalami perusakan mestinya liturgi ekologi kita semakin berani, vokal, mengembalikan kata-kata subversif dari Kitab Suci, sehingga bumi kita terselamatkan dan kita dapat mewariskannya pada generasi-generasi selanjutnya. Misalnya yang menarik, saya kira, adalah motivasi spiritual yang bisa kita tawarkan dari spiritualitas kristiani adalah kemampuannya untuk mensintesakan nilai istirahat dan perayaan justru di tengah-tengah aktivisme manusia yang seringkali tidak hanya merusak alam, tetapi bisa jadi aktivisme kita itu kosong. Maka, kita sebenarnya mau melakukan kritik terhadap liturgi-liturgi kita yang kosong terhadap isu-isu ekologi,” katanya.
Menurutnya, Paus Fransiskus sangat concern pada situasi yang menghalangi kita untuk membela bumi. Salah satunya adalah kaum beriman itu seringkali diam saja. “Tidak bicara di hadapan kerusakan ekologi. Dan saya kira ruang untuk liturgi ekologi adalah kemampuannya untuk mengkontemplasikan bumi rumah kita bersama ini. Dan kita kembali menghargai misteri agung tidak hanya misteri Allah, melainkan juga misteri ciptaan-misteri selain manusia. Saya kira liturgi kita secara umum masih sangat antroposentris ya. Maka, kita perlu liturgi kita semakin punya karakter ecologically centered ya, tidak hanya pada sentralisme pada manusia. Nah, juga saya kira yang ditekankan oleh Paus Fransiskus adalah justru dengan kerusakan bumi kita diundang untuk melihat bumi dari dalam. Tidak hanya secara eksternal ya,” katanya.
Seperti yang disampaikan Paus Fransiskus dalam Querida Amazonia, Romo Andalas menyampaikan, liturgi ekologi sebagaimana juga ekoteologi itu menempatkan alam sebagai locus teologicus, lokasi Allah menunjukkan Diri dan memanggil kita anak-anak-Nya. “Kita pribadi-pribadi beriman menemukan di wilayah Amazon suatu locus theologicus, lokasi Allah menunjukkan diri dan memanggil anak-anak-Nya (Querida Amazonia, 57)”.
Sebagaimana Paus mengajak “Kita hendaknya menghargai mistisisme penduduk asli yang melihat semua ciptaan saling terhubung dan saling tergantung, mistisisme syukur yang mencintai hidup sebagai rahmat, mistisisme kekaguman suci di hadalan alam ciptaan yang melimpahi kita dengan banyak kehidupan (Querida Amazonia, art 73)”, Romo Andalas pun mengajak supaya kita kembali menempatkan seluruh ciptaan dalam jejaring ekologi yang saling terhubung.
“Saya kira terutama dengan ekoteologi, kita menempatkan kembali seluruh ciptaan dalam jejaring ekologi yang saling terkoneksi dan bahkan saling bergantung satu dengan yang lain. Dan saya kira dalam hal ini untuk liturgi ekologi kita mesti banyak belajar dari komunitas-komunitas ekologis yang ada di sekitar kita,” katanya.
Kita, lanjutnya, sangat perlu untuk semakin menghargai mistisme penduduk asli, mistisme syukur, mistisisme kekaguman suci di hadapan alam yang kadang-kadang kita sangat antroposentris. “Kita menghilangkan mistisisme-mistisisme itu, bahkan dalam liturgi kita. Maka, saya kira ketika Gereja-gereja dan tentu teman-teman dari lintas agama memikirkan liturgi ekologi , kita mau menggabungkan sesuatu yang seringkali telah terpisah dari kehidupan kita, yaitu dimensi sosial dan dimensi spiritual dari inkulturasi ya. Maka, liturgi ekologi tidak boleh terpisah dari aktivisme sosial Gereja,” katanya.
Menurutnya, kita bisa banyak belajar dari pengalaman para warga yang hidup terkoneksi dengan alam sekitarnya untuk mengembalikan keterkaitan Gereja dengan alam yang ada di sekitar kita. “Gereja dapat mengumpulkan dalam liturgi banyak unsur yang tepat dari pengalaman penduduk asli dalam relasi mereka dengan alam dan membangkitkan ungkapan-ungkapan asli dalam nyanyian, tarian, ritus, gerak tubuh, dan simbol. Konsili Vatikan II telah meminta upaya menginkulturasi liturgi di antara penduduk-penduduk asli (Sacrosantum Concilium, art 37). Namun, lima puluh tahun telah berlalu dan kita masih sedikit kemajuan dalam bidang ini (Querida Amazonia, art 82). “
“Dan yang menarik adalah bahwa liturgi ekologi itu sangat terbuka terhadap bahasa, bahasa nyanyian, tarian, ritus, gerak tubuh, simbol melampaui kata-kata yang biasanya sangat kental ya dalam teologi kita,” katanya.
Lebih lanjut, Romo Andalas mengatakan, dalam memikirkan liturgi ekologi kita perlu melakukan kritik atas globalisasi paradigma teknokratis dan globalisasi paradigma ekonomis yang sangat dominan dan seringkali telah masuk di dalam kehidupan kita sebagai Gereja.
“Maka, saya ingin mengundang kita semua untuk berefleksi terutama kedekatan kita dengan warga lokal yang sangat terkoneksi dengan alam tentang cara mereka untuk menciptakan, mengkreasi lingkungan dan untuk kepentingan kita tentu untuk mengkreasi liturgi ekologi,” tuturnya.