Waktu menunjukkan pukul 11 siang. Hawa panas sangat terasa. Meski demikian, siswa-siswi SD Kanisius Tlogosari Kulon, Semarang mulai menempatkan diri di pintu masuk sekolah. Mereka menyambut warga yang beberapa waktu sebelumnya diundang untuk menikmati makan siang gratis, 5 Juni 2024. Senyum lebar merona. Wajah ramah terpancar dari anak-anak itu ketika menyambut tamu yang mulai hadir satu demi satu. Mereka pun saling berjabat tangan dan mempersilakan masuk.
Sementara itu, sebagian siswa yang lain bersama para orang tua, donatur, dan komite sekolah bersiap menghidangkan menu makan siang gratis di halaman sekolah.
Kepala Sekolah SD Kanisius Tlogosari Kulon, Khatarina Ika Wardhani bersama anak-anak bersiap untuk memulai acara makan siang itu. Sekretaris Yayasan Kanisius, Romo Thomas Surya Awangga, SJ sudah berada di lokasi. Tak berapa lama, Pastor Paroki Sendangguwo, Romo Alexander Erwin Santoso, MSF pun hadir. Tak berapa lama, ia pun memimpin doa dan memberkati makan siang yang sudah tersaji itu usai sambutan dari kepala sekolah.
Tamu yang adalah warga di sekitar sekolah pun dipersilakan untuk menikmati makan siang dengan menu nasi, ayam goreng mentega, bakimi, cap cay, sambal, dan kerupuk. Tak ketinggalan buah semangka yang merah merona dan es teh buah pun siap dinikmati siang itu. Menu itu sangat pas untuk dinikmati di Kota Semarang yang terik. Seraya mereka bersantap siang, anak-anak menemaninya. Perbincangan pun tak terhindarkan. Suasana kekeluargaan pun hidup di antara mereka. Ada dialog hidup yang terjadi.
Ika menjelaskan, acara tersebut disiapkan sendiri oleh anak-anak. Mereka berkoordinasi dan melibatkan beberapa pihak untuk menyiapkan acara makan siang gratis tersebut. “Mereka juga rapat menggerakkan bapak-ibu komite dan bapak-ibu guru, mengatur bahwa kami punya ide ini, makan siang gratis,” kata Ika. Menurutnya, dalam persiapan itu, ada perdebatan yang menarik karena ada dua usulan, makanan tersebut akan dikemas dalam bentuk nasi bungkus atau mengundang orang untuk datang makan siang bersama dengan memakai piring. Ide untuk berbagi makan siang dengan nasi bungkus ditolak karena ditengarai akan menghasilkan banyak sampah pembungkus. Peserta rapat pun memutuskan akan mengundang warga untuk datang ke sekolah dan menikmati makan siang di tempat dengan memakai piring, tidak dibungkus. Mereka pun membuat kupon undangan untuk dibagikan kepada warga.
“Mereka langsung buat kupon nih ya. Yang membuat draft-nya itu juga mereka sendiri, yang merancang mereka, yang menggandakan juga mereka, lalu mereka minta bantuan pada adik-adik kelas untuk membagikan kupon pada orang-orang yang membutuhkan,” kata Ika.
Koordinator kegiatan, Kingchillo Shallom Asmoko mengatakan, kegiatan itu dipersiapkan oleh 16 anak yang tergabung dalam pantia melalui rapat beberapa kali. “Saya senang bisa turut dalam kegiatan berbagi makan siang,” ujar anak laki-laki yang biasa disapa Chillo itu.
Sekretaris Yayasan Kanisius, Romo Thomas Surya Awangga, SJ mengatakan, kegiatan berbagi makan siang gratis tersebut menunjukkan bahwa sekolah tidak hanya mendidik secara akademik, tetapi juga mengenalkan nilai-nilai kristiani, kasih, solidaritas, empati kepada kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel (KLMTD). Menurutnya, keberpihakan kepada kaum KLMTD bukan hanya urusan orang-orang yang mampu atau kaya, “tapi juga anak kecil pun dilatih untuk itu”. Terkait dengan pembelanjaan makan siang gratis, pihaknya turut menggalang dana. Banyak orang yang tergerak untuk membantu. Ada yang menyumbang dana, tenaga, bahkan ada yang berbagi dari kekurangannya. “Bukan soal sumbangannya, tapi berbaginya itu,” kata Romo Awangga.
Melalui program itu, orang-orang tua diajak untuk aktif bergerak, melayani, dan menumbuhkan rasa cinta pada kaum KLMTD. Demikian pula, anak-anak pun mendapatkan pengalaman di luar bangku pelajaran. Setelah bersama-sama melakukan pelayanan berbagi makan siang gratis, anak-anak diajak untuk berefleksi supaya bisa menemukan nilai-nilai kekatolikan di dalamnya.
Menurut Romo Awangga, program berbagi makan siang gratis itu selaras dengan yang Paus Fransiskus ajarkan, yakni supaya Gereja mencintai orang miskin dan bersahabat dengan siapapun. Dalam program tersebut, lanjutnya, anak-anak tidak diajak untuk berurusan dengan otak saja, tetapi anak-anak juga diajak untuk mengasah hatinya, makin peka, peduli, dan memiliki sikap bela rasa pada sesamanya.
Sebelumnya, siswa-siswi SMP Kanisius Raden Patah dan SD Kanisius Kobong juga melakukan kegiatan serupa. Yang berbeda, mereka tidak mengundang warga ke sekolah, namun mereka yang mengunjungi warga dengan berbagi makanan.
Menurut Romo Awangga, kegiatan berbagi makan siang gratis itu akan diteruskan sesuai dengan situasi di sekolah. Ada 180 sekolah yang bernaung di bawah Yayasan Kanisius di wilayah Keuskupan Agung Semarang.
Meski secara umum berjalan baik, Romo Awangga melihat ada sejumlah tantangan yang dihadapi. Menurutnya untuk menyiapkan hal tersebut tidak mudah karena harus mempertimbangkan banyak hal seperti faktor keamanan. Berkoordinasi dengan banyak orang juga tidak mudah. Namun, ketika anak-anak sendiri yang berkoordinasi menyiapkan semua itu, Romo Awangga melihat anak-anak juga telah belajar kepemimpinan sejak dini. Selain berkoordinasi dengan sesama teman, mereka juga harus berkoordinasi dengan guru, donatur, dan komite sekolah. Setelah itu, mereka juga menyampaikan undangan ke setiap warga. “Saya rasa leadership anak-anak itu di situ, bukan dari kami, itu yayasan gak ngapa-ngapain. Yang ngirim kupon (undangan) anak-anak, yang mbagi anak-anak, yang melayani juga anak-anak. Jadi leadership untuk anak-anak,” kata Romo Awangga.
Romo Awangga berharap, anak-anak yang terlibat kelak mempunyai kepekaan sosial dan berani karena sejak SD sudah punya pengalaman berbagi dengan berani. Romo Awangga juga berharap, anak-anak bisa menjumpai Kristus dalam diri mereka yang miskin dan berbeda.
Peran anak-anak, sekolah dan Yayasan Kanisius dalam berbagi makan siang gratis tentu relevan dengan keprihatinan Paus Fransiskus yang disampaikannya dalam Ensiklik Fratelli Tutti. “Beberapa orang dilahirkan dalam keluarga kaya, menerima pendidikan yang baik, tumbuh dengan gizi yang baik, atau memiliki bakat bawaan yang luar biasa. Mereka tentu tidak membutuhkan negara yang aktif dan hanya akan menuntut kebebasan. Tapi jelas hal yang sama tidak berlaku bagi penyandang disabilitas, bagi mereka yang lahir di keluarga miskin, bagi mereka yang tumbuh dengan pendidikan berkualitas rendah dan kurang akses ke perawatan kesehatan yang semestinya. (FT 109).
Di sinilah sebenarnya anak-anak, sekolah, dan yayasan pendidikan Katolik berusaha membangun pengharapan bersama dan bagi kaum miskin sesuai dengan ajaran para Bapa Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes. “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga (GS 1).
Gerakan berbagi makan siang gratis juga menjadi salah satu gerakan berbagi yang menguatkan hasil penelitian Charities Aid Foudation (CAF) berjudul “World Giving Index” (Kerelaan Memberi) pada tahun 2018. Dari 146 negara yang diteliti, Indonesia menduduki tempat nomor satu dalam hal kerelaan memberi. Sementara itu The Legatum Institute melalui The Legatum Prosperity Index, dalam hal modal sosial, Indonesia menempati urutan ke-6 dari 167 negara yang diteliti.
Kerelaan berbagi warga Indonesia cukup membanggakan. Tentu akan lebih baik lagi, jika sekolah atau lembaga pendidikan bersama-sama menyemai dan memupuk semangat berbagi ini sejak dini.