Oleh BAPAK JULIUS KARDINAL DARMAATMADJA SJ
Manusia ciptaan Allah yang mulia
Di antara ciptaan Allah di dunia, manusia tergolong ciptaan yang paling luhur dan mulia. Itu karena manusia diciptakan menurut gambar dan citra Allah (Kej 1:26-27). Ia diciptakan dengan jiwa yang tak dapat mati. Dan jiwa yang tak dapat mati ini diciptakan langsung oleh Allah sendiri. “Gereja mengajarkan bahwa setiap jiwa rohani langsung diciptakan oleh Allah (bdk. Pius XII. Ens. “Humani generis”, 1950, DS 3896.) – ia tidak dihasilkan oleh orang-tua – dan bahwa ia tidak dapat mati (bdk Konsili Lateran V 1513; DS 1440). Jiwa memang tidak dapat kita lihat, karena bersifat rohani. Tetapi kita dapat melihat kemampuannya yang tersalurkan oleh tubuh kita. Ada beberapa kemampuan yang dapat kita amati:
- Kehendak bebas
Manusia memiliki kehendak bebas yang mampu mengambil keputusan untuk memilih barang mana mau disimpan atau tindakan mana yang mau dilaksanakan. Dengan kehendak yang kuat, orang menyelesaikan tugas-tugas yang berat. Umat Katolik, dengan karunia kehendak bebasnya diharapkan selalu memilih mencintai dan menaati kehendak Allah, dan karenanya juga mencintai sesama manusia. Cinta sejati membutuhkan kebebasan hati. Tanpa kebebasan, tidak ada cinta.
- Akal budi atau pikiran
Kita mampu mengerti atau memahami dengan akal budi atau pikiran, yang berfungsi dalam atau menyatu dengan otak. Mengenai fungsi rohani akal budi atau pikiran, Gereja mengajarkan: bahwa “akal budi manusia dapat menemukan jawaban atas pertanyaan mengenai asal segala sesuatu. Adanya seorang Pencipta dapat diketahui dengan pasti dari karya-karya-Nya berkat cahaya akal budi manusiawi (bdk DS 3026), walaupun pengetahuan ini sering digelapkan dan dinodai oleh kekhilafan. Oleh karena itu iman memperkuat dan menerangi akal budi supaya ia mengerti kebenaran ini dengan tepat. ‘Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat’ [Ibr 1:3].” (KGK no 286). Kecuali itu sebagai citra Allah, ia “mampu mengenali diri sendiri, menjadi tuan atas dirinya, mengabdikan diri dalam kebebasan dan hidup dalam kebersamaan dengan orang lain, dan karena rahmat ia sudah dipanggil ke dalam perjanjian dengan Penciptanya, untuk memberi kepada-Nya jawaban iman dan cinta …” (KGK 357).
- Manusia memiliki hati
Yang dimaksud dengan hati di sini adalah kemampuan fungsi rohani. Ada beberapa yang dapat disebut.
(1). Kemampuan untuk mencintai dan dicintai. Kemampuan mencintai dan dicintai adalah kemampuan berelasi dengan Tuhan, dengan sesama dan lingkungan hidup kita dengan baik, yaitu berelasi dengan kasih. Kita manusia memang diciptakan untuk menerima cinta Tuhan dan menerima cinta dari sesama, serta mampu membalas dengan cinta pula. Dosalah yang membuat kita tidak mau mencintai, karena cinta diri kita terlalu besar.
(2). Kemampuan untuk merasakan apa yang indah, bagus, menarik, umpama keindahan alam ataupun karya seni. Kedua, “Tradisi rohani Gereja juga mementingkan hati dalam arti kitabiah, sebagai “dasar hakikat” atau batin (Yer 31:33), di mana manusia memutuskan berpihak kepada Allah atau melawan Allah” (KGK 368). Kemampuan hatilah yang membuat kita mampu mencintai Allah.
(3). Hati nurani. Manusia tidak hanya memiliki hati, melainkan memiliki hati nurani. Kemampuan hati nurani ini sangat menentukan perilaku kita. Lewat hati nurani atau suara hati, Allah berkenan membimbing manusia dari dalam batinnya. Dalam hati nuraninya inilah orang dapat mendengarkan dan merasakan panggilan dasarnya untuk hidup baik, bersaudara, saling membantu, jujur dan adil. Dalam hati nurani ini pula ditemukan tata nilai. Kepentingan Allah dan kehendak-Nya harus didahulukan dari kepentingan diri sendiri. Gereja Katolik mengajarkan: “Di lubuk hati nuraninya, manusia menemukan hukum, yang tidak diterimanya dari dirinya sendiri, tetapi harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik dan untuk menghindari apa yang jahat. Bilamana perlu suara hati itu menggemakan dalam lubuk hatinya: jauhkanlah ini, elakkanlah itu. Sebab dalam hatinya manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu, … Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema dalam hatinya.” (GS 16, bdk. KGK 1776-1777).
Menurut ajaran Gereja, yang membuat manusia begitu mulia sehingga tak ada makhluk hidup di dunia ini yang dapat menyamainya, karena manusia diciptakan sebagai makhluk yang sekaligus rohani dan jasmani. (bdk. KGK no 362). Beberapa kemampuan rohani yang baru saja kita bicarakan tadi tidak lain kecuali ungkapan kemampuan dari sisi rohani manusia. Manusia disebut makhluk rohani, karena manusia – disamping memiliki tubuh yang dapat mati – memiliki jiwa yang tak dapat mati dan langsung diciptakan oleh Allah. (bdk. Ibid. no 382). Namun jiwa dan badan merupakan satu kesatuan dan jiwa juga berfungsi dengan perantaraan tubuhnya, sehingga tubuhnya memiliki aktivitas jasmani dan rohani. St. Paulus dalam suratnya kepada umat di Tesalonika, memang menyebut adanya roh di samping jiwa: “Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya dan semoga roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita.” (1 Tes 5:23). “Gereja mengajarkan bahwa perbedaan ini tidak membagi jiwa menjadi dua. (bdk. Konsili Konsatantinopel IV.870: DS 657). Dengan “roh” dimaksudkan bahwa manusia sejak penciptaannya diarahkan kepada tujuan adikodratinya, (yang melampaui kodratnya). (bdk Konsili Vatikan I: DS 3005; GS 22.5), dan bahwa jiwanya dapat diangkat ke dalam persekutuan dengan Allah karena rahmat.” (KGK 367). Dengan demikian pada saat manusia meninggal dunia, yang mati adalah badannya yang kembali menjadi tanah. Jiwanya, sesuai iman Katolik, langsung disambut ke alam kekal. Yang berdosa berat masuk neraka, yang berdosa ringan masuk api penyucian, menunggu saat telah dimurnikan, pantas untuk menyatu hidup dengan Yesus Kristus, masuk ke dalam persekutuan dengan Tritunggal Mahakudus. Jadi sejak diciptakan, manusia sudah memiliki martabat yang luhur, apalagi juga memiliki tujuan akhir yang lebih luhur lagi, yang ilahi. “Diciptakan dalam keadaan kekudusan, manusia ditentukan supaya diilahikan oleh Allah dalam kemuliaan.” (KGK 398).
Dosa merusak martabat manusia
Martabat manusia yang begitu agung dan mulia, dirusak oleh kuasa dosa. Adam dan Hawa dengan kehendak bebasnya memilih mengikuti kehendak sendiri melawan kehendak Allah agar mereka tidak makan buah dari pohon yang ada di tengah taman Eden (bdk Kej 3:4-6). Mereka mengabaikan hati nurani mereka dan mengikuti bujukan ular atau setan. (bdk. Kej. 2:16-17). “Digoda oleh setan, manusia membiarkan kepercayaan akan Penciptanya mati di dalam hatinya, dan tidak mematuhi perintah Allah. Di situlah letak dosa pertama manusia….. (KGK 397). Akibat dosa asal, Adam dan Hawa kehilangan kekudusan asli (bdk. Kej: 3: 9-11: takut kepada Allah, dan merasa telanjang), juga kehilangan keselarasan karena keadilan asli sudah rusak (bdk. KGK 400). Akibat dosa mereka, kuasa dosa turun di dunia. Anak Adam dan Hawa yang pertama yang bernama Kain dirasuki rasa iri dan benci terhadap adiknya Abil yang kurbannya diterima Allah. Kain lalu membunuh dia. (bdk Kej 4:3-8). Selanjutnya kehidupan di dunia selalu diiringi oleh kuasa dosa. “Sebab seluruh sejarah manusia sarat dengan perjuangan melawan kekuasaan kegelapan. Pergulatan ini sejak awal dunia dan menurut amanat Tuhan, akan tetap berlangsung hingga hari kiamat. Terjebak oleh pergumulan itu, manusia tiada hentinya harus berjuang untuk tetap berpegang pada yang baik. Dan hanya melalui jerih payah, berkat bantuan rahmat Allah, ia mampu mencapai kesatuan dalam dirinya” (GS 37, 2; dikutip dalam KGK 409). Hidup manusia menjadi kancah perebutan antara kuasa Allah dan kuasa Roh Jahat, dan banyak orang jatuh dalam dosa melawan martabat manusia yang luhur. Sampai sekarang kuasa Roh Jahat berpengaruh atas perilaku manusia dan melahirkan berbagai kejahatan dalam bentuk-bentuk pelecehan keluhuran manusia. Perang Rusia-Ukraina, perang Israel-Palestina yang berkembang menjadi serangan kelompok Houthi ke Laut Merah. Itu berarti orang membunuh orang, ciptaan Allah yang luhur. Lalu juga perdagangan manusia yang melibatkan pekerja migran, kekerasan terhadap perempuan dan lainnya. Di antara makhluk Allah yang mulia, mereka saling membenci dan memusuhi. Saling menipu, merugikan dan memperdaya.
Yesus membela martabat manusia
Bagi kuasa dosa ini Allah Bapa telah mengorbankan Allah Putra, untuk jadi Manusia, yaitu Tuhan Yesus, untuk menjadi penebus dosa dunia. Tuhan Yesus telah mengadakan pembelaan yang mendasar terhadap martabat manusia yang luhur dengan sengsara dan wafat di kayu salib, kemudian bangkit dari alam maut dan naik ke surga dengan mulia. Dengan inkarnasinya saja martabat manusia telah diangkat ke arah kemanusiaan Yesus yang sempurna. Manusia yang telah diciptakan menurut gambar dan citra Allah diproses kembali makin menjadi gambar Allah, yaitu Yesus, Allah Putra yang menjelma menjadi manusia. Bahkan dalam Yesus yang telah mulia, manusia diangkat martabatnya menjadi anak-anak Allah.
Memang peristiwa kelahiran sampai wafat, kebangkitan, kenaikan Yesus ke surga, mempunyai makna luar biasa: yaitu adanya perubahan secara rohani atau Ilahi, seperti berikut ini:
a. Bagi umat kristiani, antara lain: kodrat manusia yang rusak karena dosa dipulihkan dan bahkan martabatnya ditingkatkan menjadi martabat “anak-anak” Allah dalam dan bersatu dengan Kristus. Dari makhluk diangkat menjadi anak Allah. Maka ada lompatan baru dan kekuatan baru (realita rohani) untuk melaksanakan Hukum Kasih Tuhan. “Adapun orang kristiani (karena baptis) telah menyerupai citra Putera, yakni yang Sulung di antara banyak saudara (Rom 8:29; Kol 1:18); ia telah menerima “kurnia sulung Roh” (Rom 8:23), dan karena itu menjadi mampu melaksanakan hukum baru cinta kasih (bdk Rom 8:1-11). Lihat GS 22.
b. Makna bagi mereka yang non kristiani, martabatnya juga ditingkatkan sedemikian rupa hingga terbuka dan terarah kepada Kristus dalam misteri Paskah. Mereka yang berkehendak baik, hatinya sudah menjadi kancah kegiatan rahmat yang tidak kelihatan (bdk LG 16). “Sebab karena Kristus telah wafat bagi semua orang (bdk Rom 8:32), dan panggilan terakhir manusia benar-benar satu, yaitu bersifat ilahi, kita harus berpegang teguh, bahwa Roh Kudus membuka kemungkinan bagi semua orang, untuk dengan cara yang diketahui oleh Allah, digabungkan dengan misteri Paskah itu.” (GS 22). Berarti terbukalah bagi keselamatan semua orang.
Gereja membela martabat manusia
Karya Yesus ini diteruskan oleh para rasul-Nya yang diutus ke seluruh dunia yang disertai kuasa Roh Kudus. Inilah Gereja-Nya. Maka Gereja juga memiliki tugas membela keluhuran martabat manusia ini. Ada dua tugas Gereja, yaitu ke dalam bagi warganya, dan keluar bagi masyarakat di dunia.
a. Sejak berdirinya, Gereja terdiri dari orang-orang yang oleh pewartaan para rasul, percaya kepada Yesus yang bangkit mulia sebagai penebus dosa manusia, dan menerima Sakramen Baptis, Krisma dan Ekaristi. Ketiganya bersama-sama sering disebut Sakramen Inisiasi. Dengan Sakramen Inisiasi inilah setiap orang dipanggil dan diproses menjadi semakin menyerupai Yesus Kristus, karena Yesus hidup dalam dirinya dan Roh Kudus bersemayam di hatinuraninya untuk membimbing perilakunya. Sampai Paulus mengatakan “bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Gal 2:20). Maka mereka yang telah dibaptis juga kerap disebut orang Kristiani atau Kristen. Dengan pelayanan Sabda, Gereja memberikan pencerahan budi dan hati bagi perjalanan hidup orang beriman. Dengan Sakramen Ekaristi, orang beriman mendapat santapan rohani yaitu Tubuh dan Darah-Nya supaya orang beriman semakin mamancarkan Kristus dalam hidup dan perilakunya. Karena Kristus adalah citra Allah sendiri, maka orang beriman juga semakin diilahikan. Martabatnya yang rusak karena dosa tidak hanya dipulihkan, melainkan makin diilahikan. Dengan demikian ia semakin dimampukan menghayati Hukum Kasih, bahkan mampu mengasihi seperti Yesus sendiri mengasihi (bdk Yoh 13:34). Gambaran ini tadi adalah kemampuan dari rahmat Allah. Dalam pelaksanaan hidup manusia tetap diganggu oleh kuasa dosa, maka ada sisi perjuangan yang harus ditanggung. Makin baik berjuangnya, makin terlaksana rahmat Allah melalui Tuhan Yesus dan Roh Kudus-Nya, seperti telah dibuktikan dalam hidup para kudusnya. Maka tugas Gereja pula untuk mendampingi putra-putrinya, agar mereka mencapai kesempurnaan hidup. Kalau toh jatuh dalam dosa, ada sakramen Pengampunan Dosa.
b. Gereja juga tetap memiliki tugas bagaikan ragi dan garam memengaruhi masyarakat seluruh dunia. Itu karena Yesus menebus dosa untuk seluruh dunia, dan dengan itu menyelamatkan seluruh umat manusia. Dan setelah karya penebusan Yesus selesai, mereka telah menapaki jalan terbuka bagi keselamatan mereka. Hukum Kasih yang diajarkan Yesus untuk para murid-Nya juga untuk mendampingi mereka. Maka Gereja tak jemu-jemunya mengajak agar persaudaraan di antara umat manusia digalakkan, perang supaya dihapus, demikian pula Hak Asasi Manusia ditegakkan. Gereja juga menolong para yatim piatu dan orang miskin. Orang miskin yang sejak lahir sampai tua, tak mungkin berkembang layaknya manusia citra Allah.
Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar Dr. Ahmed Al-Tayyeb menandatangani Deklarasi Abu Dhabi, yakni sebuah dokumen tentang persaudaraan manusia untuk perdamaian dunia dan hidup bersama.
Dalam keterangan tertulis dari Pertemuan Persaudaraan Manusia (Human Fraternity Meeting), disebutkan bahwa dokumen tersebut bertujuan mendorong hubungan yang lebih kuat antar manusia untuk menghadapi ekstremisme serta dampak negatifnya.
Upacara penandatanganan deklarasi pada 4 Februari 2019 itu dihadiri oleh Wakil Presiden UEA Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum, Perdana Menteri dan Pejabat Dubai, Putra Mahkota Abu Dhabi Sheikh Mohamed bin Zayed Al Nahyan, Wakil Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata UEA, serta lebih dari 400 pemimpin agama. Dalam upacara tersebut, Wakil Presiden UEA juga menyerahkan “Penghargaan Persaudaraan Manusia-Dari Dar Zayed” kepada Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar.
Penghargaan ini diberikan kepada Dr. Ahmed Al-Tayyeb sebagai pengakuan atas posisinya dalam membela moderasi, toleransi, nilai-nilai global serta penolakannya terhadap ekstremisme radikal. Upacara penandatanganan Deklarasi Abu Dhabi sebenarnya merupakan bagian dari Pertemuan Persaudaraan Manusia yang diselenggarakan oleh pemerintah UEA, yang sekaligus menjadi peristiwa bersejarah ketika Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik untuk pertama kalinya mengunjungi Teluk Arab.
Paus Fransiskus dikenal sebagai promotor toleransi dengan mengesampingkan perbedaan. Ia pun dikenal karena panggilan tekadnya untuk mewujudkan perdamaian dan persaudaraan di antara umat manusia. Dalam pidatonya sebelum menandatangani Deklarasi Abu Dhabi, Paus Fransiskus mengatakan, bahwa kebencian dan kekerasan atas nama Tuhan tidak dapat dibenarkan. Paus juga menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan dalam upaya mengurangi konflik. (Lihat https://news.schoolmedia.id/berita/Paus-Fransiskus-dan-Imam-Al-Azhar-Tandatangani-Deklarasi-Perdamaian-172)
Dokumen Abu Dhabi ini menjadi inspirasi bagi Ensiklik “Fratelli Tutti” yang ditandatangani di Assisi tanggal 3 Oktober 2020. Ada banyak yang dikutip dari sana. Paus menggambarkan ensiklik ini ini sebagai “Ensiklik Sosial” yang bertujuan mempromosikan aspirasi universal menuju persaudaraan dan persahabatan sosial.
Ensklik ini dimulai dengan menekankan bahwa kita semua adalah bagian dari sebuah keluarga manusia, anak dari satu Pencipta, berada dalam perahu yang sama, dan karenanya kita perlu menyadari bahwa dunia yang terglobalisasi dan saling berhubungan ini hanya bisa diselamatkan oleh kerja sama kita semua. Paus Fransiskus menggarisbawahi bahwa dunia yang lebih adil dicapai dengan mempromosikan perdamaian, yang bukan hanya sekadar tidak adanya perang; tetapi menuntut keterlibatan semua orang.
Bagian dari bab ketujuh, berfokus pada perang: itu bukan “hantu dari masa lalu” – kata Paus Fransiskus – “tetapi ancaman terus-menerus.” Selain itu, karena senjata kimia dan biologi nuklir yang menyerang banyak warga sipil yang tidak bersalah, saat ini kita tidak dapat lagi berpikir, seperti di masa lalu, tentang kemungkinan “perang yang adil”, tetapi kita harus dengan tegas menegaskan kembali: “Jangan pernah ada perang lagi!”, penghapusan total senjata nuklir adalah “keharusan moral dan kemanusiaan”.
Mari kita selalu menjunjung tinggi kasih kepada sesama dan memandang semua orang sebagai saudara yang bermartabat tinggi dan luhur, karena mereka sama-sama seperti kita, diciptakan dan dicintai Allah dan tujuan hidup mereka akhirnya juga Allah.