Dokumen Abu Dhabi memberikan kepada kita banyak sekali pelajaran betapa agama itu mungkin saja berbeda-beda secara ritual tetapi memiliki banyak kesamaan dan pandangan terutama kalau berbicara mengenai persoalan-persoalan kemanusiaan. Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Dr. H. Abdul Mu’ti, M. Ed menyampaikan hal tersebut dalam Seminar Nasional Dokumen Abu Dhabi “Tentang Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Beragama” di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, 25 Januari 2023 lalu.
“Poinnya adalah bahwa ada satu hal yang menurut saya penting adalah one humanity. Kemudian one responsibility. Karena itu ketika dokumen Abu Dhabi ini berbicara mengenai kemanusiaan, tentu saja kemanusiaan dalam konteks ini adalah manusia sebagai makhluk Tuhan yang sangat mulia dan makhluk Tuhan yang memiliki hak-haknya untuk meraih kebahagiaan dan kedamaian dalam kehidupannya,” katanya.
Dalam konteks ini, menurutnya, Dokumen Abu Dhabi mengangkat kemanusiaan tidak sekadar persoalan-persoalan yang berhubungan dengan etika, tapi berhubungan dengan etik. “Dan beberapa persoalan yang diangkat, saya kebetulan mendalami agak banyak dokumen ini, pertama adalah persoalan di mana ketika orang berbicara mengenai damai, itu tidak sekadar the absence of war. Tidak sekadar tidak adanya perang. Tapi damai itu adalah security. Damai itu adalah rasa aman yang di dalamnya juga ada ketenangan dan juga ada kedaulatan atau sovereignty. Dokumen ini juga menekankan bahwa manusia itu lahir ke dunia sebagai makluk Tuhan yang bebas, makhluk Tuhan yang merdeka. Sehingga karena itu tidak boleh atas nama apapun manusia memperbudak sesama umat manusia, manusia menjajah manusia yang lainnya atau manusia memperdagangkan manusia demi kepentingan-kepentingan yang bersifat jangka pendek. Ini saya kira pesan penting yang sekarang ini menjadi bagian dan tantangan dunia yang luar biasa,” ungkapnya.
Menurutnya, tantangan dunia saat ini adalah insecurity, bukan hanya the absence of war. Terlebih saat ini banyak peperangan terjadi. Insecurity tersebut bahkan menyangkut kebutuhan dasarnya. Selain itu, menurutnya, manusia zaman sekarang juga mengalami problem dalam hal pangan.
“Kita sekarang melihat adanya problem food in security. Rasa di mana kita ini melihat banyak sekali manusia yang menderita kelaparan. Sementara sebagian besar manusia itu membuang-buang makanan karena berlebih-lebihan. Ini masalah yang diangkat di dalam dokumen ini dan itu masalah kita yang serius,” katanya. Selain itu, kesenjangan kesejahteraan juga masih menjadi masalah dunia saat ini bahkan di tanah air.
Mu’ti juga terkesan dengan pribadi Paus Fransiskus. Menurutnya, Paus Fransiskus adalah seorang yang sangat peduli dengan kaum papa yang sering disebut sebagai “Paus Gelandangan” karena kepeduliannya yang sangat tinggi kepada mereka yang menderita, yang terpinggirkan dalam kehidupannya atau tidak diakui eksistensinya.
“Jadi, dokumen ini berbicara mengenai sovereignty, mengenai kedaulatan manusia sebagai makhluk yang merdeka, tapi juga kemudian diangkat kepada persoalan-persoalan yang menjadi concern dunia,” katanya.
Terkait dengan concern dunia saat ini, Mu’ti bercerita kalau dalam beberapa kesempatan ia mengikuti pertemuan di Vatikan tentang lingkungan hidup dan guru dalam pendidikan. “Saya menghadiri pertemuan di Vatikan sebelum Muktamar Muhammadiyah tahun 2022. Saya ke sana di tahun 2021, menghadiri pertemuan COP 26 di Vatikan. Ada 2 pertemuan di situ. Yang pertama adalah pertemuan tentang lingkungan hidup. Bagaimana para saintis dan agamawan berbicara tentang climate change. Dan ini juga masalah yang kian serius terhadap kemanusiaan. Kita sekarang bicara mengenai global warming, mengenai climate change, tidak dikaitkan dengan masalah kemanusiaan. Padahal terjadinya climate change dan global warming itu adalah karena krisis kemanusiaan dan karena juga manusia yang melampaui batas-batas dalam kehidupannya itu,” katanya.
Mengenai guru, Mu’ti bahkan ikut menyampaikan presentasi di Vatikan. “Kemudian, kedua, bicara mengenai guru. Saya kebetulan waktu itu juga presentasi di dalam Vatikan sendiri di mana Paus memberikan perhatian yang serius terhadap persoalan illiteracy. Persoalan kebodohan dan ini juga masalah yang sangat serius dan Paus memberikan perhatian dalam masalah kebodohan itu terkait dengan arti penting para guru dan perlindungan bagi para guru itu sebagai pejuang kemanusiaan,” ungkapnya.
Jadi, menurut Mu’ti, kebodohan adalah bagian dari masalah kemanusiaan. Namun, menurutnya, problem sekarang sebenarnya tidak sekadar knowledge illiteracy, tetapi problem yang sangat serius sekarang adalah moral illiteracy.
“Ini juga masalah yang sangat serius. Dan kalau moral itu sudah rusak maka, manusia kehilangan kemanusiaannya. Dan saya kira yang sangat penting dalam konteks Indonesia sekarang ini adalah bagaimana kita tidak menjadikan dokumen Abu Dhabi ini sebagai dokumen. Dokumen ini adalah dokumen bersejarah tapi jangan hanya menjadi sejarah,” katanya menegaskan supaya Dokumen Abu Dhabi sungguh-sungguh diwujudkan dalam gerakan nyata.
Mu’ti terkesan dengan peristiwa peluncuran Dokumen Abu Dhabi dan itu baginya menjadi pesan penting dari dokumen tersebut. “Ketika saya hadir di pertemuan di Vatikan itu, Syekh Al Tayyeb memanggil Paus Fransiskus dengan sebutan “My Brother”. Itu sebuah ungkapan yang dalam konsep Islam menggambarkan persaudaraan yang luar biasa, persaudaraan yang lintas batas di mana seorang Muslim, pemimpin besar Muslim memberikan ungkapan yang sangat tinggi kepada pemimpin Katolik dan pemimpin umat yang sangat dihormati dengan ungkapan “My Brother”,” katanya seraya berharap yang sama pun diterapkan di Indonesia.
Mut’ti juga menangkap pesan Dokumen Abu Dhabi bahwa agama-agama bisa bergerak bersama-sama karena ada banyak titik temu dalam agama-agama itu. “Kebetulan saya termasuk yang agak aktif mendorong berbagai kegiatan kemanusiaan di Indonesia. Ada paling tidak misalnya yang dibentuk di tanah air kita ini Humanitarian Forum Indonesia. Itu sebuah lembaga kemanusiaan lintas iman di mana kita bisa menyelesaikan dan turun bersama-sama ke lapangan membantu mereka yang membutuhkan uluran tangan kita secara bersama-sama. Kita membaca Kitab Suci yang berbeda, tapi pesan Kitab Suci itu sama yang kemudian kita amalkan dalam bentuk aksi kemanusiaan yang ternyata memberikan manfaat yang sangat besar bagi masyarakat,” tuturnya.
Mu’ti juga melihat adanya pesan yang disampaikan dokumen tersebut yakni kaitan antara gerakan lintas iman dan pelestarian lingkungan. “Yang sekarang sedang kita galakkan itu gerakan Eco Bhinneka. Itu sebuah gerakan lintas iman untuk pelestarian lingkungan. Dan sekarang sudah berjalan di 4 tempat di Indonesia. Ternyata kita juga bisa bersama-sama sehingga kita tidak hanya sekadar together, artinya kumpul-kumpul, tapi juga harus together artinya kita bersama-sama. Inilah yang saya kira menjadi bagian penting sehingga Dokumen Abu Dhabi ini menurut saya tidak hanya berhenti menjadi sebuah good document, tetapi harus menjadi bagian dari living document. Dokumen yang senantiasa hidup karena kita mensosialisasikannya dalam kehidupan kita di masyarakat di Indonesia kita ini,” terangnya.
Mu’ti juga mengungkapkan, Dokumen Abu Dhabi merupakan peta jalan dalam membuat jembatan lintas batas. “Dokumen Abu Dhabi itu merupakan peta jalan, merupakan roadmap yang mudah-mudahan membawa kita kepada jalan yang benar. Jalan yang benar itu kalau di Islam namanya Sirotol Mustaqim. Marilah kita bersama-sama membangun jembatan, membangun hubungan. Karena jembatan itulah membuat kita bisa melintas batas. Jembatan itu yang membuat kita senantiasa terhubung satu dengan yang lain. Dan jembatan itu, menurut dokumen ini, adalah jembatan iman dan jembatan kemanusiaan,” pungkasnya.