Berikut ini adalah petikan sambutan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X yang disampaikan pada acara Gerakan Indonesia Raya Bergema di Yogyakarta, 20 Mei 2021
Hadirin sekalian, yang saya hormati,
Pada hari ini, 20 Mei 2021, tepat 113 tahun usia Boedi Oetomo sejak dicanangkan kelahirannya. Boedi Oetomo yang sejak awal-mula pergerakannya tersentuh oleh menyingsingnya Fajar-Asia, ketika pada masa itu semuanya masih “tertidur”. Dengan bangunnya Boedi Oetomo itu, tersentak pulalah orang-orang Belanda dari tidurnya, sehingga Mr. Van Deventer menulis di majalah De Gids dengan kata-kata sebagai berikut:
“Suatu yang ajaib telah terjadi, Insulinde Si Puteri Cantik yang tidur, sudah terbangun”. Relevansinya dengan momentum hari ini bahwa pencanangan Gerakan “Indonesia Raya Bergema” apakah juga bisa membangunkan semangat kebangsaan kita, seperti kebangkitan Boedi Oetomo itu, kiranya masih perlu dibuktikan di lapangan.
Padanannya adalah, meski penting, Pancasila tidak cukup hanya dengan menggelorakan “Ikrar”, tetapi harus diamalkan dalam peri kehidupan oleh setiap warga-bangsa. Demikian juga, kita tidak cukup hanya dengan meneriakkan slogan “Pancasila Sudah Final”, atau “NKRI Harga Mati” saja. Dan kesemuanya akan tinggal sebagai wacana belaka, jika masyarakat hanya menggantungkan diri pada pemerintah, tanpa prakarsa sendiri.
Momentum hari ini sejatinya ingin menggugah ingatan kita, bahwa Indonesia Raya membuat kita untuk bangkit-gumrégah dengan amalan “Bangunlah-Jiwanya, Bangunlah-Badannya”. Dimana bersemayam Geest atau Roh yang mampu memperteguh Semangat Kebangsaan dalam membangun “Indonesia Raya” yang maju dan bermartabat.
Untuk itu, saya juga menyampaikan terima kasih dan selamat kepada Bapak Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah yang turut serta mendukung gerakan ini. Semoga masyarakat Yogya dan masyarakat Jawa Tengah bisa mengembangkan bersama bagaimana acara-acara seperti ini merapat sampai di seluruh Indonesia. Terima kasih, Bapak Ganjar Pranowo, atas perannya.
Bung Karno pernah berpesan: “Perdjoangankoe lebih moedah karena mengoesir pendjadjah, perdjoanganmoe akan lebih soelit karena melawan bangsamoe sendiri”. Pesan ini menunjukkan, bahwa memang jauh berbeda perjuangan para Pendiri Bangsa dulu dengan perjuangan kita sekarang ini.
Kalau dulu slogannya: “Merdeka atau Mati”, sekarang tentu lain. Ada pun pilihannya agar ditanyakan kepada generasi milenial, bukannya kita sendiri yang menentukan.
Surat Edaran hanyalah payung yang melindungi terhadap teriknya panas matahari, dan basahnya guyuran air hujan. Gerakan ini akan hidup berkelanjutan, jika warga memiliki roh tadi, yang menjadi mesin penggeraknya. Bisa diandaikan saat kita mendorong mobil mogok tidak akan bisa berjalan sendiri, jika tidak ada percikan api pada mesinnya. Sebab, begitu tidak ada lagi pendorongnya, mobil pun akan berhenti dengan sendirinya.
Dengan memahami makna tentang Kemerdekaan Roh seperti itu, konsekuensinya tidak cukup hanya berhenti dalam pencanangannya pada hari ini saja. Tetapi harus pandai menerapkan gagasan Bung Karno tentang Trilogi: “Nationale Geest-Nationale Wil-Nationale Daad”, yakni keberlanjutan rangkaian “Roh-Kemauan-Tindakan”.
Dalam kaitan ini, penerapannya memerlukan political will semua warga, agar mampu menggerakkan collective action massa. Selain itu, kita pun juga harus peka pada kepingan-kepingan kegelisahan dan keprihatinan liyan, atau out-group di luar kita. Janganlah juga kita menganggap seakan jalan yang kita tempuh ini adalah one-way traffic. Sehingga siapa pun pengendara yang berlawanan arah sah hukumnya untuk dikenakan sanksi.
Begitu pula, janganlah kita terjebak pada jargon tanpa isi, dan menjadi semacam patriotisme buta, padahal pada awalnya toh sesungguhnya yang kita rancang adalah patriotisme konstruktif.
Bapak, Ibu, Hadirin sekalian yang saya hormati,
Karena itu, saya mengajak seluruh masyarakat Yogyakarta untuk membangkitkan “Gerakan Indonesia Raya Bergema”, seperti halnya Serangan Oemoem 1 Maret 1949, sebuah “serangan kejut” yang membawa inspirasi “Semangat Kebangsaan”, yang memang benar-benar hidup di hati masyarakat luas.
Sebuah kegotongroyongan dengan “semangat nasi bungkus”, wujud solidaritas sosial dan ekspresi kultural. Bagaikan ombak besar samudera yang menggelorakan, seperti halnya aksi massa damai “Sejuta Rakyat Yogyakarta”, 20 Mei 1998. Atau kerja-kerja berantai yang “golong-gilig” saat segenap elemen masyarakat bahu-membahu membantu korban bencana gempa 2006, dan erupsi Merapi 2010.
Marilah Peringatan Hari Kebangkitan Nasional ini kita tandai dengan olah-kebangkitan yang inspiratif, bukan yang karikatif. Dengan menyadari, bahwa dulu bangsa ini dibangkitkan dari alam tidur oleh Fajar-Asia.
Kini, saat kita berselancar di era digital, selain dibangkitkan oleh disrupsi teknologi, juga harus diwaspadai, bahwa peradaban baru ini pun juga terbawa oleh intervensi Covid-19.
Kalau dulu digemakan oleh semangat kebangsaan otentik, kini kita gemakan dengan semangat kebangsaan baru Abad Milenial. Agar dengan demikian, benar-benar mampu membangun jiwa-ragaku demi tanah-airku, tanah tumpah darahku, dan disanalah aku berdiri seraya berseru: “Indonesia Bersatu!”
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT, berkenan meridhainya. Akhir kata, saya ucapkan: “Selamat bergerak maju, membangun semangat kebangsaan dengan roh baru!”
Sekian, terima kasih.